SENTUHAN KALBU: 8 CARA SANTUN (BIJAK) MENGHADAPI ORANG YANG SUKA MENCELA
Oleh: Usmul Hidayah
Literasisambas.com - Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon
pertolongan, dan meminta ampun kepada-Nya, dan kami berlindung kepada Allah
dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan perbuatan-perbuatan kami. Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak
ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya sebenar-benar pembicaraaan adalah Kalam Allah subhanahu wa ta’ala dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasaalam. Semoga shalawat,
salam dan keberkahan dilimpahkan kepada Rasulullah, karena sesungguhnya manusia
yang pantas dijadikan contoh, baik dari perbuatannya, perkataannya, atau pun
ketentuannya hanyalah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Artinya: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik”. (QS. Al-Ahzab:
21)
Semoga
keberkahan juga dilimpahkan kepada istri dan anaknya, keluarganya, sahabatnya
dan segenap orang yang mengikutinya. Semoga kita semua tanpa terkecuali
memegang erat sunnah dan menjalankannya sehingga kita diakui dan diizinkan
meminum air di kelaga kausar bahkan semoga kita semua bersatu dan bernaung di
dalam surga Allah kelak. Aamiin ya
Rabbil’alamin
Memiliki
kepribadian yang santun adalah dambaan setiap manusia yang bersosial. Sifat
santun adalah sifat yang mulia dan disukai oleh manusia baik itu seorang muslim
maupun bukan muslim, yang membenci mapun yang menyukai. Di antara perhiasan
yang paling indah bagi seseorang adalah sifat santun. Sifat atau tabiat ini
sungguh sudah melekat dengan orang-orang yang berakal dan bijaksana, karena ia
akan menunjukkan suatu kemuliaan jiwa, ketinggian semangat, kelapangan dada,
keselamatan jasmani dan menghadirkan kebaikan-kebaikan di dalamnya.
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda;
إِنَّ
فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ
Artinya:
“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua
sifat yang Allah darn Rasul-Nya cintai, yaitu kesantunan dan kehati-hatian”.
(HR. Muslim)
Kemuliaan
sifat santun ini akan terlihat kepada seseorang jika ia memiliki kemampuan
mengendalikan dirinya sendiri ketika saat marah yang memuncak. Orang yang
memiliki sifat santun juga lebih memilih diam daripada membalas perkataan
orang-orang yang jahil atau orang-orang yang menghinanya meskipun ia mampu
untuk membalasnya. Sifat santun tersebut selalu mengarahkan kepada seseorang
kepada kekuatan menahan amarah dan kelurusan dalam bertindak.
Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ
إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Santun
adalah salah satu akhlak Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Beliau adalah manusia yang paling santun dan paling sabar
menghadapi gangguan manusia. Betapa sering orang-orang kafir, musyrik, munafik,
bahkan keluarga sendiri pun kasar kepadanya. Mereka melontarkan kata-kata yang
tidak pantas untuk diucapkan, mereka melontarkan kalimat-kalimat yang memancing
amarah, menyifati Beliau dengan sifat-sifat yang tidak terpuji, seperti sebagai
pembohong, tukang sihir, dukun bahkan ada pula yang menjuluki dengan sebutan
orang gila.
Dari
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji tersebut, namun Beliau tetap santun dan
sabar dalam menghadapinya. Suatu ketika Ath-Thufail bin Amar ad-Dausi datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kabilah Daus membangkang dan menentang,
maka bedo’alah agar keburukan menimpa mereka”. Maka Beliau menghadap kiblat
dan mengangkat kedua tangan, sehingga orang-orang berkata, “Kabilah Daus binasa”. Namun Rasulullah, mengucapkan, “Ya Allah, berilah hidayah kepada Kabilah
Daus dan datangkanlah mereka”. (Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah
kesantunan dan kesabaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi
orang-orang yang membencinya. Seandainya Beliau berkehendak, niscaya Beliau
membuat mereka merasakan panasnya ujung cemeti dan sakitnya tebasan pedang,
akan tetapi Beliau memaafkan dan menyanyangi, dan berpaling dari orang-orang
yang jahil. Beliau sangat paham, karena sesungguhnya dakwah dilakukan dengan
dengan kekerasan atau berhati kasar maka mereka akan berpaling.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ
فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ
Artinya:
“Maka berkat rahmat Allah engkau
(Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap
keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu”.
(QS. Ali Imran: 159)
Dari
penjelasan di atas, maka hati kecil kita akan bertanya-tanya, “Bagaimana meraih sikap santun ini?”.
Perlu diketahui, sesungguhnya sifat santun ini bukan merupakan tabiat dan
pembawaan seseorang, namun ia tetap bisa diapatkan melalui latihan dan
kesabaran. Sebagai mana yang telah dicontohkan oleh Manusia yang paling agung
yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Banyak para sabahat pada zaman itu, mencontohi sifat Beliau dan
mengadirkan kesuksesan dalam memimpin, baik untuk dirinya, keluarganya, maupun
memimpin ummatnya, In Syaa Allah
sukses juga di akhirat.
Mu’awiyah berkata, “Tidak ada kesantunan kecuali dengan
latihan”. Begitu juga yang diucapkan oleh Abu ad-Darda’, dia berkata, “Sesungguhnya ilmu itu didapatkan melalui
belajar dan sesungguhnya kesantunan itu diperoleh melalui latihan. Barangsiapa
berusaha mencari kebaikan, niscaya dia mendapatkannya. Barangsiapa berusaha
menjauhi keburukan, niscaya dia bisa menjauhinya”. (Raudhah al-Muhibbin,
hal. 347-348 dengan diringkas)
Sungguh tidak dipungkiri,
bahwa kesantunan adalah menahan amarah, maka yang terpuji darinya adalah yang
disertai oleh kuat dan tingginya marah, bila seseorang tidak memiliki kekuatan
amarah, maka ia merupakan kekurangan. Kesantunan akan menjadi baik manakala
diletakkan pada tempatnya. Kalau berkenaan dengan hak-hak Allah, menjaga
kehormatan dan kemaslahatan umum, maka keantunan padanya tidaklah baik.
Aisyah, berkata:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا
إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ
مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ
Artinya: "Dari 'Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang wanita pun, kecuali saat berjihad di jalan Allah, beliau tidak pernah membalas suatu kesalahan yang dilakukan orang kecuali bila keharaman-keharaman Allah 'azza wajalla dilanggar, beliau membalas karena Allah 'azza wajalla". (Hadits Shahih Muslim No. 4296)
Jadi, untuk melatih atau
menjaga sifat santun agar melekat pada hati seseorang meskipun berhadapan
dengan orang yang membenci kita, yang merendahkan kita atau yang semisalnya maka
Al-Mawardi telah menyebutkan sebab-sebab untuk meraih kesantunan, berikut ini
kami menjelaskan secara singkat:
1.
Mengasihi
Orang-orang yang Bodoh
Abu ad-Darda’
pernah berkata kepada seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata yang bisa
membuatnya marah, “Wahai kamu, janganlah
tenggelam dalam mencela kami, berilah peluang untuk berdamai, karena kami tidak
membalas orang yang mendurhakai Allah di antara kami lebih besar daripada kami
menaati Allah padanya”.
Asy-Sya’bi pernah
dicela oleh seorang, maka dia berkata, “Bila
aku sebagaimana yang kamu katakan, maka semoga Allah mengampuniku, bila aku
tidak sebagaimana yang kamu ucapkan, maka semoga Allah mengampunimu”.
2.
Memaafkan
Meskipun Mampu untuk Membalas
Hal ini berawal
dari kelapangan dada dan keyakinan yang kuat. Sebagaimana orang bijak berkata, “Kemuliaan yang terbaik adalah memaafkan
saat mampu memblas dan kedermawanan saat membutuhkan”.
3.
Mengabaikan
Celaan
Hal ini termasuk
kemuliaan dan memiliki semangat yang tinggi. Orang-orang bijak berkata, “Kemuliaan jiwa adalah hendaknya kamu
memikul apa yang tidak kamu sukai sebagaimana kamu menerima yang kamu sukai”. Ada
yang berkata bahwa sesungguhnya Allah menamakan bahwa Yahya bin Zakaria dengan Sayyid karena kesantunan Beliau.
Seorang penyair
berkata:
“Suatu
kamu tidak akan mencapai kemuliaan sekalipun mereka itu mulia, sebelum mereka
merendahkan diri mereka sekalipun mereka perkasa kepada kaum lain. Dan mereka
dicela, sehingga Anda melihat memerahkan raut muka, bukan memaafkan kaena
kehinaan akan tetapi memaafkan karena kesantunan”.
4.
Meremehkan
Pelaku Keburukan
Seorang laki-laki
pernah mencaci al-Ahnaf berulang-ulang sementera dia tidak menjawabnya, maka
orang itu berkata, “Demi Allah, dia tidak
menjawabku karena aku memang tidak berarti apa pun baginya”. Dari hal
tersebut, teringat sebagian orang terpandang berkata dalam syairnya, “Apakah setiap kali lalat terbang di dekatku
aku mengusirnya? Bila demikian maka lalat adalah hewan yang berharga bagiku”.
Dari kalimat di
atas, dapat dijelaskan bahwa bukan berarti menganggap orang lain itu hina atau
rendah bahkan sebagai hewan, tapi maksud yang tersirat adalah tidak melayani
atau berdebat jika hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Maka orang yang
santun akan pergi meninggalkan orang yang benci dengannya, bukan karena
keburukannya melainkan karena kedengkiannya.
5.
Malu
Terhadap Jawaban yang Setimpal
Hal ini dalam
rangka menjaga diri dan termasuk kesempurnaan muru’ah (kepribadian yang baik). Sebagian
orang bijak berkata, “Sabar menghadapi
orang yang bodoh adalah lebih baik daripada menampilkan diri sepertinya. Menutup
mata dari orang bodoh adalah lebih baik daripada menirunya”.
Maksudnya, jika
seseorang berlaku buruk kepada kita, maka jangan membalasnya seperti yang ia
lakukan. Orang yang santun, apabila ada seseorang yang memperlakukan buruk
terhadapnya maka ia akan memperlakukan orang tersebut dengan kebaikan. Ataupun ia
meninggalkannya bukan berarti memutuskan tali persaudaraan melainkan menjaga
diri dari sesuatu yang membuatnya sama sepertinya.
6.
Memperbaiki
Celaan
Hal ini termasuk
kemurahan hati dan keinginan untuk menjalin hubungan baik. Al-Ahnaf berkata, “Tidaklah seseorang memusuhiku melainkan
aku melakukan salah satu dari tiga perkara kepadanya. Bila dia lebih tinggi
dariku, maka aku mengakui kedudukannya. Bila dia lebih rendah dariku, maka aku
mengangkat kedudukanku darinya. Bila dia setara denganku, maka aku berbuat baik
kepadanya”.
Hal ini sama
dengan mengakui kedudukan seseorang, apabila orang tersebut memiliki kedudukan
ataupun kelebihan daripada kita, maka kita harus mengakuinya. Jangan sampai ada
kedengkian yang merasuk ke dalam hati kita, sehingga kita dengan sombongnya
menolak bahkan tidak terima dengan kelebihan yang dimiliki orang lain. Apa pun itu,
tetap menjaga kepribadian agar tetap santun dalam pergaulan.
7.
Menghentikan
Pencela dan Memutuskan Celaan
Hal ini termasuk
ketegasan, sebagaimana dikisahkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Dhirar
bin al-Qa’qa’, “Demi Allah, seandainya
kamu berkata satu, niscaya kamu akan mendengar sepuluh”. Maka dia menjawab, “Demi
Allah, seandainya kamu berkata sepuluh, maka kamu tidak mendengar satu pun”.
Sebagian orang
bijak berkata, “Dalam sikap berpalingmu
(dari orang bodoh) terkadang penjagaa terhadap kehormatanmu sendiri”. Bahkan
ada juga yang berkata, “Silahkan kamu
berkata apa yang kamu ingin, dusta maupun bohong. Kesantunanku tuli walaupun
telingaku tidaklah tuli”.
Maksud dari
kalimat di atas, orang yang santun tidak akan melayani setiap pertikaian. Dia
akan memilih diam ataupun pergi. Ini untuk menjaga agar setiap permasalahan
tidak berlarut ataupun melebar sehingga akan menghabiskan waktu yang tidak ada
manfaatnya. Biarkan mereka yang membenci dengan urusannya, sedangkan orang yang
santun tidak mengharapkan pujian orang lain, melainkan keridhoan Allah dan
Rasul-Nya.
8.
Taktik
dan Menunggu Peluang-peluang yang Samar
Dan ini adalah
bentuk kecerdikan. Dalam deretan kata-kata mutiara ada yang berkata, “Barangsiapa yang nampak amarahnya, maka
sedikit taktiknya”. Dan Iyas bin Qatadah berkata, “Tangan-tangan kami menghukum sementara akal kami santun. Kami mencaci
dengan perbuatan bukan dengan perkataan”.
Dari kalimat di atas, dapat kita simpulkan bahwa orang yang santun tidak akan membalas dengan perbuatan yang sama melainkan dibuktikan dengan kerja nyata ataupun dengan prestasi. Mereka selalu memperbaiki setiap kelemahan yang ada dengan kegiatan-kegiatan yang positif, sehingga orang yang membenci tidak bisa berkata banyak tentangnya. Jika dia tetap dengan penghinaan, maka dia akan terhina. Seperti kata Umar bin Khattab, “Orang yang suka menghina orang lain, dia akan dihina”.
Itulah beberapa sifat
untuk melatih atau menjaga kesantunan kita kepada orang lain, baik yang
membenci ataupun lainnya. karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai panutan kita, memberikan
contoh agar tidak melakukan hal yang sama kepada orang yang berbuat buruk
kepada kita, apa lagi sesama muslim melainkan dibalas dengan kebaikan ataupun
do’akan dengan kebaikan. Apapun nanti hasilnya biarkan Allah yang membalasnya.
Tugas kita hanya melakukan perbuatan yang telah diperintahkan-Nya melalui
Rasul-Nya. Untuk penilaian, biarkan Allah yang menilai, jangan mengharapkan
penilaian manusia karena sesungguhnya penilaian manusia tidak ada yang
terpuaskan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
menjaga keistiqamahan kita dalam beramal dan tetap santun di hadapan manusia
hingga akhir zaman. Aamiin ya rabbil’alamin....
Wallahua’lam....
Posting Komentar