SEBAGAI REFLEKSI: MARI BERKACA DARI ULAMA TERDAHULU
Literasisambas.org - Kta mungkin sering mendengar para ulama di zaman sekarang sering bercerita tentang kisah heroik ulama terdahulu, menukil petuah mulia dari ulama terdahulu, dan selalu mengambil ibrah dari ulama terdahulu.
Ini menandakan bahwa ulama terdahulu memang hebat dalam banyak hal,
terutama mereka sangat hebat dalam penguasaan ilmu agama. Sebagai bukti,
ulama-ulama terdahulu jauh lebih banyak menghasilkan karya tulisan ketimbang
ulama di zaman sekarang.
Selain itu, tingkat kesulitan bacaan ulama terdahulu jauh lebih
tinggi karena harus membaca manuskrip. Berbeda dengan zaman sekarang para ulama
telah dimudahkan dengan percetakan buku yang menyediakan kertas yang jauh lebih
baik, tulisan yang jauh lebih rapi, dan sebagainya. Akan tetapi tetap saja dari
segi menghasilkan karya masih belum bisa menghasilkan sebanyak seperti para
ulama terdahulu.
Kalau kita pikir-pikir lagi, terasa aneh bukan? Di samping ulama
terdahulu dihadapkan dengan keterbatasan sarana prasrana dalam berkarya, tetap
saja ulama terdahulu jauh lebih banyak menghasilkan karya ketimbang ulama zaman
sekarang? Jadi, mengapa ulama terdahulu lebih unggul dari pada ulama di zaman
sekarang?
Jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah terletak pada tingkatan
kemauan. Ulama terdahulu punya mental warrior. Mereka rela menempuh
perjalanan yang panjang hanya demi memperoleh ilmu agama. Tak jarang bahkan
mereka menempuh perjalanan beribu-ribu kilometer dari negeri satu ke negeri
yang lain hanya dengan bermodalkan kendaraan berupa unta dan dengan perbekalan
secukupnya. Dari situ, terlihat sekali bahwa ulama terdahulu sangat memuliakan
ilmu.
Maka tak heran mengapa ulama zaman dahulu banyak menghasilkan kitab
puluhan bahkan ratusan jilid. Kita bandingkan dengan doktor dan professor di
zaman sekarang paling banyak hanya bisa menghasilkan kitab kurang lebih hanya
belasan jilid, dan itupun terhitung
hanya sedikit yang bisa menghasilkan sampai puluhan jilid. Dari situ terlihat
bahwa ulama zaman dahulu memang mereka merupakan manusia-manusia pilihan.
Lain halnya dengan kita mau diakui ataupun tidak, sangat jelas kita
kalah total dari ulama terdahulu. Jika kita sadari, setidaknya ada beberapa hal
yang membuat kita kalah dari ulama terdahulu. Apa itu? Tidak lain dan tidak
bukan karena kita telah termanjakan oleh segala fasilitas-fasilitas yang
memudahkan, namun membuat kita mudah terleha-leha. Penyebab lainnya juga adalah
karena segala kenikmatan dunia (fitnah dunia) telah dibukakan kepada kita
sehingga membuat kita lebih mudah terjerumus ke dalam perkara-perkara maksiat
yang akhirnya membuat kita jauh dari nur cahaya Allah.
Tulisan di atas hanya sedikit sebagai ocehan dari pribadi penulis. Ada
banyak sekali ocehan yang sebenarnya ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini.
Namun penulis rasa cukup itu saja sebagai pelampiasan. Mari kita lanjutkan
pembahasan. Mungkin kita bertanya-tanya siapa saja ulama terdahulu yang
dimaksud dalam tulisan ini?
Sebenarnya banyak sekali jika disebutkan satu persatu. Imam
al-Bukhari adalah salah satu dari ulama terdahulu yang patut kita acungi jempol.
Bagi sebagian orang yang telah lama dalam mempelajari ilmu hadis pasti tidak
asing lagi dengan ulama yang satu ini.
Ia dikenal sebagai pengarah kitab hadis tersahih dan
termasyur. Ia rela mengembara beribu-ribu kilometer dari kota Bukhara menuju
Syam, Mesir, Aljazair, Basrah, Hijaz, Kufah, dan Baghdad hanya demi mendapatkan
riwayat hadis. Selain itu, pengembaraannya hanya bermodalkan kendaraan onta dan
perbekalan makanan secukupnya. Alhasil atas kerja kerasnya, kita saat
ini bisa menikmati karya-karyanya yang fenomenal dan monumental.
Selain dari Imam al-Bukhari sebenarnya masih ada imam-imam lain
yang sangat hebat dengan menghasilkan banyak karya. Seperti Imam al-Mundziri
yang menghasilkan karya 40-80 jilid, Imam at-Thabari yang menghasilkan karya
50-100 Jilid, Imam asy-Syafi’i yang telah mengarang 150-200 jilid, dan masih
banyak lagi imam-imam yang lain.
Sungguh, jika kita membaca kitab Siyar A’lam an-Nubala karya
Imam adz-Dzahabi yang memuat 23 jilid mengenai biografi para ulama terdahulu, kitab
Tazdkiratul Huffadz, dan beberapa kitab lain yang mengulas para
ulama-ulama terdahulu, maka penulis yakin bahwa setiap orang akan merasa kecil
ketika telah membaca kitab tersebut.
Kemudian penulis juga yakin jika seseorang membaca kitab tersebut,
maka akan hilang sikap ujub (berbangga diri) dalam diri mereka. Karena
dalam kitab tesebut dijelaskan bagaimana kerja keras dari kesungguhan dan
kesabaran mereka dalam menuntut ilmu, tegar mereka dalam berdakwah, serta ujian
yang mereka rasakan.
Akan tetapi jika sebagian orang yang merasa telah berilmu namun
tidak pernah membaca kitab-kitab tesebut, maka kemungkinan dia akan merasa seolah-olah
dialah yang paling hebat, paling berilmu, dan merasa paling top di hadapan
orang lain.
Hal yang perlu diketahui bersama bahwa alasan mengapa ulama
terdahulu menjadi hebat dan rela menghadapi kesakitan demi mendapatkan ilmu
adalah hanya karena satu alasan, yakni karena “cinta”. Segala hal yang
dilandasi dengan cinta pasti akan membuahkan hasil dan membuat seseorang akan mencapai targetnya. Dengan cintalah ia
rela berkorban melakukan segala sesuatu demi mendapatkan hal yang ia cintai.
Nah, kalahnya lagi kita sekarang adalah
karena kurangnya rasa cinta terhadap ilmu. Ilmu seakan-akan dianggap sebagai
suatu hal yang remeh. Padahal dengan ilmulah peradaban suatu bangsa dapat
berkembang. Harusnya kita malu karena sangat jauh kalahnya dengan kehebatan
ulama terdahulu. Malu karena mereka tetap hebat dengan segala keterbatasan yang
mereka miliki, dan malu karena kita tetap kalah meskipun segala fasilitas telah
tersedia.
Maka dari itu, kalaulah kita tidak bisa menjadi sehebat seperti
ulama terdahulu, akan tetapi setidaknya mari kita maksimalkan segala potensi
yang kita miliki selama ini, gunakan rasa malu kita sebagai motivasi agar kita
terus maju dan tidak mau kalah dari mereka.
Sebagai penutup dari tulisan ini, sering-seringlah membaca kisah-kisah
perjuangan para ulama terdahulu dalam menuntut ilmu. Karena ulama-ulama
terdahulu usianya dihabiskan dengan keberkahan. Waktu-waktu mereka dihabiskan
untuk menghasilkan karya.
Penulis tidak bisa membayangkan lagi jika Imam al-Bukhari, Imam
al-Mundziri, Imam at-Thabari, Imam asy-Syafi’i, dan imam-imam lain yang jika
hidup di era digital ini kira-kira seberapa lebih banyak karya tulisan yang
mereka hasilkan lagi.
Lantas, bagaimana dengan kita hari ini? Jangan sampai usia kita dihabiskan
dengan segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Apakah dengan sisa usia kita yang
terbatas ini kita habiskan dengan perdebatan dan komentar-komentar serta status-status
yang tidak bermanfaat.
Baca Juga: 5 CARA MEMPERKUAT ISTIQOMAH
Posting Komentar