BOLEHKAH MENGAMALKAN HADITS DHA'IF (LEMAH) UNTUK BERAMAL?
Oleh: Usmul Hidayah
Shawalat dan salam,
marilah kita berikan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, seorang Nabi dan Rasul yang sempurna dan paripurna yang
diutus oleh Allah di dalam kehidupan. Dihidupkan sebagai manusia sebagaimana
kita selaku manusia bukan tanpa tujuan yakni mengikuti segala sunnah-sunnahnya
yang telah dicontohkan disetiap gerak-gerik kehidupan. Semoga kita jujur dan
tulus mencintai Rasulullah, karena pada hakikatnya tanpa ikhtiar dan praktik
atau mengikuti sunnahnya adalah suatu kesia-siaan. Semoga kita termasuk orang
yang selalu ditunggu oleh Rasululllah di Kelaga Kausarnya.
Setiap amal perbutan yang
berkaitan dengan ibadah merupakan suatu perintah yang ada sumbernya. Islam
merupakan agama yang sangat memperhatikan hal tersebut agar manusia dapat
melakukan ibadah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh tuhannya, dan bukan
sesuai dengan hawa nafsu makhluknya. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah
yang berasal dari kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُخَارِقٍ سَمِعْتُ طَارِقًا قَالَ
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ إِنَّ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al
Walid telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhariq saya mendengar Thariq
berkata; Abdullah berkata; "Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam." (Hadits Shahih Al-Bukhari No. 5633)
Sumber hukum dalam Islam
berasal dari al-Quran dan Hadits. Hadits sendiri adalah perkataan atau
perbuatan Rasulullah yang dijadikan sebagai panutan. Dalam Islam, hadits
terbagi lagi menjadi hadits shahih, dhaif, dan hasan. Pembahasan kali ini, kami lebih focus membahas tentang
hadits dhaif atau lemah. Karena hadits ini lebih mansyur dikalangan masyarakat
yang sudah diajarkan turun-termurn dari generasi ke generasi untuk dijadikan
suatu amalan. Sebagai contoh adalah do’a sebelum makan dengan lafazh:
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Artinya: “Ya Allah berkahilah rizki yang telah Engaku berikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa neraka”.
Mungkin dikalangan masyarakat do’a tersebut di atas sudah terkenal. Bagaimana tidak, mungkin dari TK, SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi do’a tesebut masih diajarkan oleh beberapa guru, ustadz maupun dari orangtuanya sendiri. Hal semacam ini wajar-wajar saja, karena ketidaktahuan bahkan menerima tanpa memeriksa sumbernya terlebih dahulu apakah shahih benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa Pengertian Hadits Lemah?
Secara
bahasa pengertian hadits adalah berita atau baru. Sedangkan pengertian hadits secara
istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, perangai maupun sifat jasad beliau.
(Taisir Mushtholah Hadits oleh Syaikh Mahmud ath-Thohhan, hal. 14)
Adapun lemah dalam bahasa arab adalah ضعيف yang secara bahasa berarti kebalikan dari kuat, baik kuat secara fisik maupun maknawi. Dan yang dimaksud di sini adalah tidak kuat secara maknawi. Maka dapat kita simpulkan bahwa hadits lemah adalah hadits ang tidak memiliki kriteria hadits shahih dan hasan. Atau dengan bahasa yang lebih bagus bahwa hadits lemah adalah hadits yang tidam memiliki kriteria untuk bisa diterima.
Apa Tujuan Mempelajari Hadits Lemah?
Para ulama Ahli Hadits berusaha mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits lemah dan palsu dengan tujuan agar kaum Muslimin berhati-hati dalam membawakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak menyebarluaskan hadits-hadits itu hingga orang menyangkanya sebagai sesuatu yang shahih padahal tidak, bahkan ada maudhu’ (palsu). Kendatipun sudah sering dimuat dan dijelaskan tentang kelemahan dan kepalsuan hadits-hadits itu, akan tetapi masih saja kita lihat dan kita dengar para da’i, muballigh, ustadz, ulama, kyai membawakan dan menyampaikan hadits-hadits tersebut, bahkan banyak pula yang ditulis dalam kitab atau majalah, hingga kebanyakan kaum Mus-limin menyangkanya sebagai sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih. (al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
Apa Hukum Meriwayatkan Hadits Lemah?
Sebagian
ulama membolehkan meriwayatkan hadits lemah tanpa menerangkan kelemahannya
dengan beberapa syarat:
1.
Hadits tersebut
tidak berhubungan dengan masalah aqidah, ibadah, serta hukum halal haram. Namun
diperbolehkan kalau hanya berhubungan dengan kisah, keutamaan amal, dan yang
semisalnya.
2.
Hadits tersebut
kelemahannya ringan, dalam arti tidak palsu serta tidak lemah yang berat.
Pendapat
ini dinukil dari Imam Abdur Rahman bi Mahdi, Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Ibnul
Mubarok, dan Sufyan ats-Tsauri serta Ibnu ‘Uyainah.
Pendapat
yang shahih dan rojih menurut para
peneliti dari kalangan ulama ahli hadits bahwa meriwayatkan sebuah hadits yang
lemah tanpa menerangkan kelemahannya itu tidak boleh, karena hal itu akan
membuat orang lain menyangka bahwa hadits tersebut adalah sebuah hadits yang
shahih dan dapat diamalkan.
Imam
Abu Syamah berkata, “Perbuatan ini menurut para peneliti dari kalangan para
ahli hadits, juga menurut para ulama ushul dan fiqih, adalah sebuah kesalahan.
Bahkan yang seharusnya adalah diterangkan kedudukan derajat hadits tersebut
jika dia mengetahuinya, karena kalau tidak demikian maka dia akan terjerumus ke
dalam ancaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
عَنْ
سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ
الْكَاذِبَيْنِ
Artinya: “Dari Samurah bin Jundab dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: " Barangsiapa menceritakan satu hadits dariku, sementara dia melihat bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu pendusta”. (Hadits Sunan Ibnu Majah No. 39)
Apa Hukum Mengamalkan Hadtis Lemah?
Pedapat Petama:
Hadits
lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah aqidah,
hukum-hukum syar’i, targhib wa tarhib
(pemberian kabar gembira atau ancaman), fadhilah amal (keutamaan amal), maupun
sekedar untuk kehatian-hatian. Ini pendapat Iman Yahya bin Ma’in, Abu Bakr
Ibnul Arobi, Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Syamah, Ibnu Hajar al-Asqalani,
asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan. Dan pada zaman kita sekarang Syaikh Ahmad
Syakir, Imam al-Albani, dan masih ada lainnya. Mereka berhujjah dengan beberapa
alasan, diantaranya:
1.
Bahwa masalah
fadhilah amal itu sama dengan hukum halal dan haram, karena semua adalah bagian
dari syari’at Islam.
Al Hafizd Ibn
Rajab dalam Syarah Sunnan Tirmidzi berkata, “Zhahir
yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam muqaddimah kitab shahih beliau
menunjukan bahwa hadits at targhib wa tarhib tidak boleh diriwayatkan, kecuali
dari para perawi yang bisa diriwayatkan haditsnya tentang masalah hukum dari
mereka”.
2.
Hadits shahih dan
hasan telah cukup untuk beramal dalam Islam, oleh karena itu tidak membutuhkan
lagi hadits lemah.
3.
Hadits lemah hanya
memberi faedah sebuah dhan marjuh
(sebuah persangkaan lemah), padahal behujjah dengan sangkaan belaka tidaklah
diperbolehkan.
Firman Allah:
وَمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍۗ اِنْ
يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ
شَيْـًٔاۚ
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran”. (QS. An Najm: 28)
Pendapat Kedua
Hadits
lemah bisa diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah menetapkan masalah
halal, haram, wajib, sunnah, dan lainnya, akan tetapi harus memenuhi 3 syarat:
1.
Tidak ada hadits
lain serta tidak ada fatwa sahabat dalam masalah ini.
2.
Hadits itu tidak
sangat lemah, karena sebuah hadits yang sangat lemah harus ditinggalkan menurut
semua ulama.
3. Tidak ada hadits lain yang bertentangan dengannya.
Pendapat ini dinukil dari Ahmad berkata, “hadits lemah lebih saya senangi daripada pendapat orang”. Perlu diketahui bahwa hadits lemah ini mempunyai kemungkinan, yakni ada kemungkinan benarnya dari Rasululllah meskipun kemungkinan itu sangat tipis sekali.
Pendapat Ketiga
Hadits
lemah bisa diamalkan dalam fadhilah amal, nasihat, kisah, targhib wa tarhib, serta yang semisalnya. Adapun dalam masalah
aqidah, hukum halal dan haram, wajib, sunnah dan yang semisalnya, maka tidak
boleh menggunakan hadits lemah. Namun para ulama yang membolehkan mengamalkan hadits
lemah dalam fadhilah amal ini mempunyai beberapa syarat sehingga bisa
diamalkan. Jikalau salah satu di antara syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak
boleh diamalkan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Hadits tersebut
lemah ringan, bukan berat. Maka tidak diterima kalau salah satu perawinya
pendusta, tertuduh berdusta, sangat sering salah, dan lainnya. Karena jikalau
ada perawi semacam ini maka hadits itu sangat lemah, bahkan bisa jadi palsu. Imam
as-Suyuti berkata, “Imam al-Ala’i menukil
adanya ijma’ tentang syarat ini”.
2.
Hadits tersebut
harus selaras dengan keumuman sebuah hadits lain yang shahih.
3.
Hadits tersebut
tidak boleh disebarkan. Hal ini agar tidak menjadikan kaum muslimin mengamalkan
sesuatu dengan hadits lemah. Karena bisa jadi akan dianggap shahih oleh orang
awam.
4. Saat mengamalkan hadits tersebut harus meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang Rojih
Setelah
kita paparkan para ulama tentang masalah ini, maka dapat kita simpulkan bahwa
yang rojih dan kuat adalah madzhab yang pertama yang mengatakan bahwa hadits
lemah tidak boleh diamalkan secara mutlak. Sebab semua itu adalah bagian dari
syari’at Islam, sedangkan syari’at Islam itu satu derajat.
Adapun
yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat kedua dan ketiga, maka bisa ktia
katakan sebagai berikut:
1.
Tentang ucapan
mereka bahwa hadits lemah ada kemungkinan benar diucapkan oleh Rasulullah,
meskipun kemunginan tipis sekali. Oleh karena itu hadits semacam ini harus
kedepankan daripada pendapat manusia belaka, kalau memenuhi syarat-syarat yang
terdahulu.
Maka kita jawab:
a.
Syari’at Islam
telah sempurna, maka kita cukup dengan hadits yang shahih dan hasan.
b.
Konsekuensi dari
pendapat ini adalah bolehnya menggunakan hadits lemah untuk menetapkan sebuah
hukum syar’i, dan ini menyelisihi ijma’ para ulama.
c.
Terkadang sebuah
pendapat belaka itu lebih baik daripada kandungan sebuah hadits yang lemah,
karena sebuah pendapat itu didukung oleh qiyas shahih dan ruh syari’at Islam
yang umum
2.
Adapun beberapa
hadits yang disampaikan oleh pendapat ketiga, maka hadits yang pertama adalah
sebuah hadits yang sangat lemah, sebagaimana yang ditegaskan al-Hafizh
as-Sakhawi dalam al-Maqashid al-Hasanah, hal. 405.
3. Syarat-syarat yang dikemukakan oleh pendapat kedua dan ketiga itu tidak pernah bisa dilakukan. Kalaupun dianggap bisa, maka itu sangat sulit, kecuali orang-orang yang benar-benar piawai dalam ilmu hadits. Padahal yang biasanya suka mengamalkan hadits lemah ini adalah orang-orang yang tidak banyak mengetahui ilmu hadits dengan baik.
Maka dari itu, marilah
kita piawai dalam mengamalkan sebuah amalan. Seorang muslim yang cerdas adalah
sebelum mengamalkannya sebuah amalan mereka akan mencari sumber atau dalilnya
terlebih dahulu atau menanyakan kepada seorang
ustadz yang benar-benar mempunyai ilmu tentang itu. Dalam beribadah sifat wara’
atau kehatian-hatian itu sangat penting agar amalan tersebut tidak merugikan
kita di akhirat. Karena beramal tanpa sumber pasti tertolak. Firman Allah:
قُلْ هَلْ
نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى
الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
Artinya:
“Katakanlah (Muhammad), “Apakah perlu
Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu)
orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira
telah berbuat sebaik-baiknya”. (QS. Al-kahfi: 103-104)
Dan
Nabi besabda:
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: Dari Aisyah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami yang tidak termasuk darinya maka dia tertolak". (Hadits Sunan Ibnu Majah No. 14)
Wallahu’alam....
Sumber:
Hadtis Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Karya Ahmad Sabiq bin Abdul
Lathif Abu Yusuf
Posting Komentar