Agar Ilmu Tak Menjadi Bencana
Oleh
: Ardi As-Sambasy
Literasisambas.org - Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala, rabb
semesta alam, yang maha mengetahui, maha adil lagi maha bijaksana. Sholawat beriring
salam senantiasa kita haturkan kepada baginda nabi kita nabi muhammad shollallhu
‘laihi wasallam, kepada keluarganya, para sahabatnya dan kepada seluruh
kaum muslimin yang mengikuti jejak beliau hinga akhir zaman.
Ilmu merupakan titik awal dari setiap kehidupan manusia dan
dengan ilmulah seseorang dapat menjadi manusia yang seutuhnya. Di dalam Islam,
kita diperintakan untuk menuntut ilmu, terutama ilmu dalam hal agama,
sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ
غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
“Dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Dan orang yang meletakkan ilmu bukan pada pada ahlinya, seperti seorang
yang mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi." (HR. Ibnu Majah)
Berdasarkan hadis di atas, dapat diambil dua hal mengenai ilmu, yakni
menuntut ilmu hukumnya wajib dan meletakkan ilmu harus pada ahlinya, jika tidak
maka ilmu akan menjadi bencana.
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah turut
mengomentari hadis di atas dengan membagi hukum menuntut ilmu menjadi dua,
yaitu sebagai berkut:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu
tentang sholat, zakat, puasa dan haji.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut
ilmu tentang pembagian berbagai hak, diantaranya, tentang hadd (qishas, cambuk,
potong tangan dll). Oleh karenanya menuntut ilmu (agama) adalah sebuah
keharusan bagi setiap muslim, agar bisa mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam
kehidupannya, agar disetiap langkah dalam kehidupannya selaras dengan apa yang
di syariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan harapan semua itu
akan menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala ridho dan merahmatinya.
Bagi
seorang yang berilmu, sudah menjadi keharusan untuk mengamalkan ilmu
yang dimilikinya, amal merupakan tujuan seseorang menunut ilmu, ilmu yang
melahirkan amal maka itulah ilmu yang bermanfaat. Maka apabila ilmu tanpa amal
bagaikan pohon yang tak berbuah, pepatah mengatakan
العمم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
"ilmu tanpa amal, ibarat pohon tanpa buah”
Berkaitan dengan penjelasan di atas, pada
dasarnya ilmu bisa menjadi bencana apabila seorang yang berilmu tidak
memperhatikan atau mengabaikan hakikat, tujuan dan kemanfaatan ilmu tersebut.
Maka dari itu, perlu untuk diketahui bahwa
setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan ilmu bisa menjadi bencana
bagi seorang ahli ilmu yakni di antaranya sebagai berikut:
1.
Mempelajari ilmu ( dengan niat ) mengharapkan dunia semata.
Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang yang meniatkan amalannya selain
wajah Allah yang mulia. Artinya dia meniatkan amalannya hanya untuk dunia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرۡثَ ٱلۡأٓخِرَةِ
نَزِدۡ لَهُۥ فِي حَرۡثِهِۦۖ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرۡثَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ
مِنۡهَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ ٢٠
“Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami
tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di
dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat” ( Asy-syuro: 20)
Di ayat lain juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Di ayat lain juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَّن كَانَ يُرِيدُ ٱلۡعَاجِلَةَ
عَجَّلۡنَا لَهُۥ فِيهَا مَا نَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلۡنَا لَهُۥ
جَهَنَّمَ يَصۡلَىٰهَا مَذۡمُومٗا مَّدۡحُورٗا ١٨ وَمَنۡ أَرَادَ ٱلۡأٓخِرَةَ
وَسَعَىٰ لَهَا سَعۡيَهَا وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ كَانَ سَعۡيُهُم
مَّشۡكُورٗا ١٩
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir,
dan Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik” (Al-isra’: 18-19).
Maka berkaitan dengan
Qs Al-isra’ ayat 19, Syaikh As-sa’di rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan:
“Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman, ‘barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
,’yakni menghendaki pahala akhirat, kemudian dia mengimaninya, membenarkannya,
dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sunguh, ‘maka akan kami tambah
keuntungan itu baginya,’ yakni kami lipat gandakan amal dan pahalanya
berkali-kali lipat, sebagaimana firmannya, ‘Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke
arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya di balas dengan baik,’ (Al-Isra’: 19). Kendati
demikian, bagiannya di dunia ini pasti akan didapatkannya juga.
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu
‘anhu, ia menceritakan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ
الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ
عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ
جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ
الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
"Barangsiapa
menjadikan dunia sebagai ambisinya, maka Allah akan mencerai-beraikan
urusannya, dan Allah akan menjadikannya miskin. Tidaklah ia akan mendapatkan
dunia kecuali apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barangsiapa menjadikan
akhirat sebagai niatannya, maka Allah akan menyatakan urusannya dan membuatnya
kaya hati, serta ia akan di beri dunia sekalipun dunia memaksanya."
Berdasarkan hadis
tersebut, sangat jelas sekali bahwasanya jika seorang yang berilmu hanya
menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, maka Allah Azza wa Jalla akan
menjadikan urusan dunianya tercerai berai dan tidaklah yang ia dapatkan dari
dunia, melainkan hanya sesuai kadar dari usahanya tanpa ada bonus sedikitpun.
2. 2. Menyembunyikan ilmu
Diantara bencana bagi
seorang yang berilmu adalah Allah akan melaknat seorang yang berilmu yang
dengan sengaja menyembunyikan ilmu Allah demi kepentingan pribadi.
Sebagaimana Allah Subhanahu
wa a’la berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا
بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ
وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا
ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ
وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٠
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah
dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka
yang telah taubat dan Mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran),
Maka terhadap mereka Itulah aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha
menerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:
159-160)
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat
ini, ada yang berpendapat bahwa yang di maksud di sini adalah para pendeta
Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan nubuwah nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di mana kaum Yahudi juga menyembunyikan tentang hukum
rajam.
Adapula yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap orang yang menyembunyikan kebenaran.
Jadi ayat ini bersifat umum meliputi setiap orang yang menyembunyikan ilmu
Allah yang seharusnya di sebarluaskan. Allah mengecualikan bagi mereka yang
bertaubat dan memperbaiki diri, dan kemudian mereka menjelaskan apa yang mereka
sembunyikan.
Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga
mengatakan dalam ayat tersebut, beliau jelaskan, “Ayat ini, meskipun di turunkan kepada ahli
kitab, tentang apa yang mereka sembunyikan perihal Rasulullah shollallahu
‘alihi wa sallam dan sifat-sifatnya,
namun kata beliau hukumnya berlaku umum bagi setiap orang yang memiliki karakter
suka menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, berupa
keterangan-keterangan yang jelas, bukti-bukti kebenaran dan petunjuk yaitu
“ilmu” yang menghasilkan hidayah menuju jalan
yang lurus.
3. 3. Berdusta atas nama
Allah
Berbicara dusta dengan
mengatasnamakan Allah termasuk dalam perbuatan dosa besar. Allah subhanahu wa
ta’ala tidak memperbolehkan siapapun di antara makhluknya untuk berbicara dusta
dengan menyandarkan kepada Allah tentang apa yang tidak Allah firmankan, sampai-sampai Allah subhanahu wa ta ‘ala
menyebutkan tentang khalil atau kekasih pilihan-Nya,
Sebagaimana Allah
berfirman,
وَلَوۡ تَقَوَّلَ
عَلَيۡنَا بَعۡضَ ٱلۡأَقَاوِيلِ ٤٤ لَأَخَذۡنَا مِنۡهُ بِٱلۡيَمِينِ
٤٥ ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡهُ ٱلۡوَتِينَ ٤٦ فَمَا مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ عَنۡهُ حَٰجِزِينَ ٤٧
“ seandainya Dia (Muhammad) Mengadakan sebagian Perkataan atas
(nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang Dia pada tangan kanannya. kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun
dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu” (QS. Al-Haqqah: 44-47)
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan terkait ayat di atas, “Allah berfirman, ‘seandainya dia
(Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, ‘yakni seandainya
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendusta, sebagaimana yang mereka
tuduhkan, menambah atau mengurangi syarita ini, atau menyatakan sesuatu dari
menyatakan sesuatu dari dirinya sendiri dan menisbatkannya kepada Kami (Allah),
dan dia tidak mungkin melakukan demikian, tentu kami sudah memberinya hukuman
di dunia. Karena itu, Allah berfirman ‘niscya benar-benar Kami pegang dia pada
tangan kanannya.’ Ada yang berpendapat, maknanya: sungguh Kami memberikan
hukuman kepadanya dengan tangan kanan, karena tangan kanan lebih keras untuk memukul.
‘kemudian benar-benar Kami
potong urat tali jantungnya,’
Adapun Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Watin
bermakna urat jantung, yakni urat yang menjadi sandaran jantung.
Firman-nya, ‘maka
sekali-kali tidak akan ada seseorang pun dari kamu yang dapat menghalangi
(Kami), dari pemotongan urat nadi itu.’
Artinya, bila Kami menginginkan hal itu, tak seorangpun diantara kalian yang
mampu untuk menghalanginya.
Kemudian termasuk
berdusta atas nama Allah adalah bila mana ada seseorang berdusta atas nama nabi
Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kedustaan tersebut
kepada Nabi tanpa ilmu, maka dia sudah dianggap berdusta atas nama Rasul, di
karenakan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak berkata-kata dari hawa nafsunya,
melainkan apa yang rasulullah ucapkan adalah wahyu, maka siapa yang berdusta
atas nama Nabi maka seolah-olah ia telah berdusta atas nama Allah.
Kemudian diantara
teguran keras berdusta atas nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, adalah
beberapa sabda beliau,
Dalam hadits yang
diriwayatkan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallhuanha, Beliau bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى
أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan
berdusta atas nama seseorang, barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja
maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ali radhiyallahu’anhu diriwayatkan bahwa ia
menceritakan, “aku pernah mendengarr Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,
bebrsabda:
لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ
"Janganlah kalian
berdusta terhadapku (atas namaku), karena barangsiapa berduasta terhadapku dia
akan masuk neraka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah
menjelaskan terkait hadis di atas bahwasanya, berdusta terhadap Allah
adalah perbuatan yang paling diharamkan, paling besar dosanya. Oleh sebab itu,
perbuatan ini disebutkan pada tingkatan ke empat dari perbuatan-perbuatan haram
yang disepakati dalam berbagai ajaran syariat dan agama para nabi, tidak
diperbolehkan sama sekali, bahkan hukumnya pun haram. Tidak seperti bangkai,
darah dan daging babi, yang bisa saja diperbolehkan pada kondisi tertentu.
Demikian penjelasan
di antara beberapa hal yang menjadi sebab mengapa ilmu dapat menjadi bencana
bagi seseorang, bila mana mereka tidak pandai dalam memanfaatkan ilmu, tidak
jujur dengan ilmu, tidak konsisten dan istiqomah terhadap ilmu, maka jika sudah
begitu ilmu tersebut tidak bermanfaat sama sekali bagi pemilik ilmu tersebut.
Untuk itu nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, senantiasa berdoa agar di berikan ilmu yang bermanfaat dan
dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat, sebagaimana sabdanya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا
وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal
yang diterima” (HR. Ibnu Majah)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا
يَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ
لَا تَشْبَعُ
"Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari do'a yang tidak
didengar dan dari hati yang tidak khusyuk serta dari jiwa yang tak pernah
merasa puas." (HR. Ibnu Majah)
*disadur
dari buku Bencana Ilmu, disusun oleh: Abu Abdillah Muhammad Ruslan, penerbit
Pustaka At-Tazkia.
Posting Komentar